kepercayaan anda adalah nyawa kami

kepercayaan anda adalah nyawa kami

Rabu, 20 November 2013

FUNGSI SERAGAM

Efek Psikologis

Mengenakan seragam kerja itu sudah bukan lagi dominasi pegawai negeri, sipil atau ABRI. Sekarang pegawai swasta pun bertambah banyak yang mengenakannya. Ada yang mau mengenakannya sejak dari rumah. Tapi, tidak sedikit yang memasukkannya di tas kerja dulu, lalu memakainya di toilet sebelum masuk kantor.
Pemikiran untuk mewajibkan seragam kerja biasanya muncul dari berbagai  alasan. Ada yang pragmatis saja, katakanlah sebagai penanda identitas personal. Karena perusahaan sudah susah menghafal orang satu persatu, maka salah satu cara untuk mengetahuinya dengan seragam.
Atau diwajibkan dengan alasan untuk identitas profesi dan institusi, misalnya para jurnalis yang ditugaskan kantornya untuk sebuah peliputan. Mereka butuh identitas. Lebih-lebih jika tugasnya di kawasan yang tingkat kegawatannya tinggi. Seragam dinilai penting untuk membedakan identitas profesi, institusi, dan eksistensi.
Mungkin juga untuk lebih cepat membangun trust pihak lain. Misalnya, Kita bisa lebih mudah percaya terhadap orang yang datang ke rumah dengan memakai seragam petugas keamanan atau pegawai departemen.
Bagi perusahaan yang kurang memiliki kepentingan langsung terhadap pentingnya menunjukkan identitas dan trust kepada pihak luar, seragam kerja juga dipakai untuk penanda job title di tingkat internal. Misalnya ada perusahaan yang membedakan seragam kerja untuk staff, supervisor, dan manajer.
Terlepas apapun alasan perusahaan, tetapi pada umumnya ada efek psikologis tertentu yang dirasakan oleh karyawan dengan aturan penggunaan seragam. Seragam itu bisa membuat orang lebih percaya diri, bisa juga sebaliknya. Bisa membuat orang merasa bangga dengan statusnya, tetapi juga bisa sebaliknya.
Karena itu, sebelum seragam kita wajibkan, perlu dipikirkan secara seksama terutama terkait dengan sejauh mana seragam kerja itu nantinya memberi kontribusi terhadap keutuhan identitas korps / kesatuan, kepuasan kerja, peningkatan kinerja dan kepentingan perusahaan terhadap pihak luar yang terkait. Jangan sampai malah membuat orang minder atau merasa superior.

Ekspresi Budaya

Jika melihat acuan manajemen pada umumnya, tujuan seragam itu bukan untuk gagah-gagahan atau keren-kerenan, tetapi untuk mempersatukan berbagai karakter dan kepribadian individu dalam formula kolektif pada waktu dan kondisi  tertentu.  Dengan kata lain, seragam kerja itu harus menjadi sarana menciptakan budaya kerja yang dianut oleh organisasi /perusahaan. Semua perusahaan memiliki budaya. Bedanya, ada yang kuat dan ada yang lemah. Budaya kuat adalah perilaku kolektif yang sudah mencerminkan nilai-nilai, paradigma berpikir, pelajaran dari pengalaman, atau standar kualitas operasi organisasi.  
Sedangkan budaya lemah adalah budaya yang tidak sinkron sama sekali atau setengah-setengahnya saja. Nilai-nilai perusahaan hanya dicetak di seragam, kop surat, atau tertulis di tembok, tapi perilaku operasinya bertentangan. Fungsi seragam di sini hanya sekedar fashion atau bisa-bisa malah memperkuat lahirnya group think yang negative.

Tiga Lapisan Kultur Organisasi

Membangun budaya organisasi itu mudah. Tapi, untuk membangun budaya yang kuat (sinkron dengan nilai, paradigma, standar, dll), pasti tak satu pun yang berani bilang itu mudah. Lebih-lebih jika cakupannya (coverage area) luas, good willnya lemah, apalagi jika political will-nya tidak jelas. Ini mungkin malah bisa dibilang mustahil.
Karena itu, apapun yang bisa kita jadikan sebagai tool untuk membangun budaya yang kuat, perlu kita pakai, termasuk seragam kerja. Memang, kalau melihat hasil kajiannya Edgard Schein (Organization Leadership and Culture: 1992), tentang budaya kerja, kapasitas seragam dalam kaitannya dengan budaya itu masih sangat cetek, alias baru di permukaan.
Schein membagi kultur perusahaan menjadi tiga lapisan. Ada yang ia sebut dengan istilah:
1) Artifacts,
2) Espoused Values, dan
3) Basic Assumption and Value.
Seragam termasuk Artifact atau lambang dari kultur perusahaan yang belum tentu merefleksikan kultur perusahaan itu.

Belum tentu orang yang pakai seragam misalnya, salah satu BUMN, departemen pemerintah, bank swasta, atau institusi pendidikan tertentu, menjalankan nilai-nilai yang dianut. Meski demikian, secara kasat mata, kita berharap melihat orang yang memakai seragam itu sedikit-banyaknya mewakili standar budaya insitusi tersebut. Minimalnya, asumsi kita tidak salah total.
Sedangkan untuk Espoused Values adalah budaya yang dibentuk dari nilai-nilai, strategi, atau filosofi organisasi, namun tahapannya masih di hafalan, peraturan, atau baru mulai ditransfer melalui usaha-usaha yang sadar dan terencana. Misalnya pegawai bank yang dipaksa oleh peraturan perusahaan harus senyum kepada customer untuk menunjukkan budaya keramahan.
Level kultur yang paling tinggi adalah ketika nilai-nilai, filosofi, strategi, atau berbagai kode organisasi itu sudah menjadi seperti udara yang kita pakai untuk bernafas. Orang menjalankan nilai-nilai, keyakinan, dan standar organisasi secara reflek, sudah membudaya, tak merasa seperti diatur, sudah menjadi Basic Assumption and Value.

fungsi seragam kerja

Kalau melihat gambar di atas, seragam kerja itu bisa kita pakai sebagai jalan / jembatan menuju Espoused Values, dapat melalui peraturan atau perumusan standar operasi (SOP) atau melalui makna di balik lambangnya. Jika kita terus lakukan enforcement secara human, misalnya melalui pembinaan, pengarahan, gesekan, pelatihan, dan lain-lain, pasti lama kelamaan akan menjadi Basic Assumption.
Atau juga bisa sebaliknya. Seragam kerja dapat kita jadikan sebagai alat untuk mempertegas budaya organisasi yang sudah melekat namun belum ternyatakan melalui rumusan atau lambang. Banyak perusahaan atau lembaga yang dulu mempraktekkan nilai-nilainya, tapi nilai-nilai itu belum ditemukan rumusnya, lambangnya atau kata-katanya.

Membutuhkan Tiga Sosok

Walaupun dalam konsepnya kita bisa membuat penjelasan yang sangat linier bahwa seragam kerja itu bisa kita jadikan jalan untuk menanamkan nilai-nilai organisasi, lalu kemudian menjadi Basic Assumption, dan seterusnya, tetapi dalam prakteknya, linieritasnya itu bisa jadi hilang.

Ini karena ketika kita mempraktekkan kegiataan penanaman nilai, filosofi atau strategi, hampir bisa dipastikan jalannya berliku-liku atau penuh aral dan rintangan. Karena itu, untuk konteks organisasi, Ian Marshall dan Zohar (Spiritual Capital: 2004) mensyaratkan kehadiran tiga sosok yang bisa diharapkan mampu berperan mentransformasikan nilai menjadi aksi lalu menjadi budaya.
Sosok yang pertama adalah KSATRIA. Jumlah yang ideal adalah 10% dari total populasi organisasi. Tapi, kalau tidak ada, 2.5% pun bisa. Ksatria adalah sosok yang mengabdi pada nilai, perumus perubahan paradigma, sang idealis sejati. Mungkin bisa pemilik atau pengelola yang dikasih wewenang penuh oleh pemilik.
Ksatria saja tidak cukup. Tidak ada idealisme yang bekerja sendiri. Kalau ksatria yang langsung turun, bisa-bisa malah bikin bingung banyak orang, karena idenya susah dikongkritkan. Karena itu, organisasi butuh sosok Master. Jumlah master ini harus lebih banyak dari kesatria, minimalnya 10%.
MASTER adalah orang yang ahli di bidangnya, para professional, para ahli yang sanggup mengkongkritkan ide-ide master dengan pengalaman, pengetahuan, dan kewenangannya. Master yang baik adalah master yang tetap membuka diri terhadap masukan kesatria. Kalau masternya bekerja sendiri-sendiri atau bertentangan dengan kesatria, mungkin nilai-nilainya sulit diwujudkan.
Tentu, budaya organisasi tak bisa terbentuk jika yang bekerja hanya ksatria dan master. Dibutuhkan sejumlah pengikut atau TENAGA OPERASI yang kualifikasinya adalah: mereka yang sebetulnya masih mau dan mampu berkembang jika dibimbing dan dibina. Jumlah idealnya adalah 80% dari total populasi.
Yang namanya organisasi, pasti komposisinya terdiri dari berbagai rupa kualitas, sehingga tidak mungkin semua akan nurut, patuh, setuju, dsb, pasti ada yang punya sikap berbeda. Ada orang yang sangat butuh untuk dimajukan, ada juga yang sulit diajak maju.
Tapi, jumlahnya jangan terlalu banyak. Maksimum sekitar 5%. Jika sampai 80% jumlahnya atau mayoritas, maka lumpuhlah kehebatan kesatria dan master. Banyak pembesar departemen, BUMN atau pejabat pemerintah yang sebetulnya seorang kesatria atau master yang bagus. Tapi karena tak didukung oleh 80% follower dan supporter yang baik, mereka akhirnya lumpuh, biasa-biasa aja, tunduk pada aturan main.

Esensinya Adalah Budaya

Seringkali, ketika perusahaan menganggarkan baju seragam, pemikiran untuk menjadikannya sebagai saluran memperkuat budaya organisasi menjadi sangat minim atau tidak muncul secara kuat. Yang sering diributkan malah budget-nya, kualitas kain atau warnanya. Padahal,  budaya itulah esensinya.

Semoga bermanfaat.